BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sebagai mahluk dinamis, manusia
beserta kebudayaannya tidak terlepas dari yang namanya perubahan. Merupakan
sebuah kenyataan bahwasannya setiap kebudayaan selalu dalam proses perubahan. Banyak
hal yang menyebabkan perubahan suatu kebudayaan, salah satunya adalah
akulturasi. Akulturasi merupakan bentuk asimilasi dalam kebudayaan yang
berpengaruh antara kebudayaan yang satu dengan kebudayaan yang lain. Jadi,
akulturasi itu akan terjadi jika adanya hubungan yang cukup lama antara dua
kebudayaan yang berbeda.
Dewasa ini, sedikit orang yang
memahami akan artinya akulturasi itu, sehinggga perubahan-perubahan yang
terjadi di suatu lingkungan hidup tidak terasa yang pada hakikatnya telah
terjadi banyak perubahan yang disebabkan banyak faktor, baik itu dari luar atau
pun dari dalam. Padahal dalam kenyataannya perubahan itu dapat dikendalikan
dengan pengertian, kesadaran dan dengan menyusun konsepsi corak baru kebudayaan
yang lahir dari akulturasi. Dilihat dari agama akulturasi itu dianjurkan, sebagaimana
yang terdapat dalam Q.S. al-Hujurat: 13, yang menegaskan bahwa umat manusia itu
terdiri dari satu kesatuan sosial yang mengharuskan bangsa dan kaum berkenalan
antara yang satu dengan yang lain. Tegasnya, memperkenalkan kebudayaannya
masing-masing.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan
uraian yang penulis utarakan, maka yang menjadi pokok bahasan penulis
merumuskan sebagai berikut :
1.
Apakah yang dimaksud dengan
akulturasi itu?
2.
Bagaimana potensi akulturasi dan
faktor-faktor yang mempengaruhinya?
C. Tujuan Penulisan
Dengan
adanya tulisan ini Para pembaca dapat mengetahui, memahami tentang apa yang
dinamakan dengan akulturasi dan segala hal yang yang tercakup di dalamnya.
Selain itu, ditulisnya makalah ini penulis bertujuan untuk memenuhi salah satu
tugas mandiri pada Mata Kuliah Filsafat Budaya.
BAB
II
PEMBAHASAN
Akulturasi
A.
Perubahan Budaya
Perubahan itu berasal dari pengalaman baru, pengetahuan baru, teknologi
baru, dan akibatnya dalam penyesuaian cara hidup dan kebiasaannya kepada situasi
baru. Tidak setiap perubahan berarti kemajuan, perubahan itu disertai kritik,
konflik dan pembatalan nilai-nilai lama lalu menyeleweng dari hasil yang telah
dicapai, ataupun membawa serta penghalusan warisan kebudayaan dan peningkatan
nilai-nilai. Perubahan yang paling berharga terjadi di dalam masyarakat, dimana
ketahanan mental-rohani selalu sanggup memperbaharui dirinya oleh daya kritik
diri, refleksi dan daya cipta. Autokritik di hadapan nilai-nilai objektif
menjamin bahwa perubahan bersifat kemajuan. Lapangan autokritik itu diisi baik
dengan penemuan baru di dalam kebudayaan sendiri maupun dengan sarana, ajaran,
adapt, dan sikap yang ditemukan dalam kebudayaan lain.
Penemuan daya uap, listrik, suntikan, radio, aviatik, dan energi nuklir
mengubah wajah kebudayaan barat dalam dasawarsa terakhir lebih intens daripada
dalam ribuan tahun sebelumnya. Semua itu terjadi berkat perencanaan sistematis
untuk membuka tabir rahasia alam. Setiap tahun lebih dari 100.000 penemuan yang
dituju dan diakui dengan hak oktroi. Semua itu mengakibatkan perubahan dalam
bidang ekonomi, sosial, nilai budaya dan pemandangan dunia tanpa adanya kontak
yang menyuburkan dengan lingkungan kebudayaan lain. Jumlah tulisan yang pernah
disusun sejak papyrus Mesir atau cuneogram Babilon pertama sampai tahun 1948
sebanyak jumlahnya dengan buku-buku yang dicetak antara 1948-1958. Proses
mengintegrasikan nilai internasional itu ke dalam kebudayaan-kebudayaan lokal
tradisional disebut akulturasi. Penjiwaan dan reintegrasi struktur budaya lama
berkat pinjaman budaya dari luar, serta tuntutan asimilasi pun merupakan
seluruh problematik akulturasi.
Untuk menjelaskan perubahan struktural orang harus mempertimbangkan bobot
kausal variable-variabel tertentu. Artinya, haruslah ditentukan unsure,
institusi, atau struktur mana yang lebih mendasar, lebih fungsional daripada
yang lain. Suatu intuisi atau kegiatan budaya dikatakan fungsional manakala
memberikan andil bagi adaptasi atau penyesuaian sistem tertentu dan
disfungsional apabila melemahkan adaptasi. Intuisi yang sama itu bahkan dapat
sekaligus mempunyai konsekuensi fungsional dan disfungsional, meskipun jika
ditimbang-timbang akan ternyata ia lebih disfungsional daripada fungsional atau
sebaliknya.
Perubahan kebudayaan tidak terlepas dari hubungan sosial. Terjadinya
perubahan itu dikarenakan adanya perubahan sosial sehingga terjadilah perubahan
kebudayaan. Ruang lingkup perubahan kebudayaan lebih luas, sehingga sudah tentu
ada unsur-unsur kebudayaan yang dipisahkan dari masyarakat, tetapi
perubahan-perubahan dalam kebudayaan tidak perlu mempengaruhi system sosial. Kebudayaan
dikatakan mencakup segenap cara berpikir dan bertingkah laku, yang timbul
karena interaksi yang bersifat komunikatif seperti menyampaikan buah pikiran
secara simbolis dan bukan karena warisan yang berdasarkan keturunan. Taylor
mengatakan bahwa kebudayaan adalah suatu kompleks yang mencakup pengetahuan,
kepercayaan, kesenian, moral, hokum adapt istiadat, dan setiap kemampuan serta
kebiasaan manusia sebagai warga masyarakat, perubahan-perubahan kebudayaan
merupakan setiap perubahan dari unsure-unsur tersebut.
Walaupun secara teoritis dan analitis pemisahan antara
pengertian-pengertian tersebut dapat dirumuskan, di dalam kehidupan nyata,
garis pemisaha tersebut sukar dapat dipertahankan. Perubahan-perubahan sosial
dan kebudayaan mempunyai satu aspek yang sama, yaitu keduanya bersangkut-paut
dengan suatu penerimaan cara-cara baru atau suatu perbaikan dalam cara suatu
masyarakat memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Proses-proses pada
perubahan-perubahan sosial dapat diketahui dari adanya ciri-ciri seperti
berikut :
1. Tidak ada masyarakat yang berhenti perkembangannya karena setiap
masyarakat mengalami perubahan yang terjadi secara lambat atau secara cepat.
2. Perubahan yang terjadi pada lembaga kemasyarakatan tertentu,
akan diikuti dengan perubahan-perubahan pada lembaga-lembaga sosial tadi
sifatnya interdependen, maka sulit sekali untuk mengisolasi perubahan pada
lembaga-lembaga sosial tertentu saja.
3. Perubahan-perubahan sosial yang cepat biasanya mengakibatkan
disorganisasi yang bersifat sementara karena berada di dalam proses penyesuaian
diri.
4. Perubahan-perubahan tidak dapat dibatasi pada bidang kebendaan
atau bidang spiritual saja karena kedua bidang tersebut mempunyai kaitan timbal
balik yang sangat kuat.
Dalam perubahan budaya ini tidak terlepas dari pengaruh masyarakat
lain, hubungan yang dilakukan secara
fisik antara dua masyarakat mempunyai kecenderungan untuk menimbulkan pengaruh
timbale balik. Artinya, masing-masing masyarakat mempengaruhi masyarakat lain,
tetapi juga menerima pengaruh dari masyarakat yang lain itu. Apabila salah satu
dari dua kebudayaan yang bertemu mempunyai taraf teknologi yang lebih tinggi,
maka yang terjadi adalah proses imitasi, yaitu peniruan terhadap unsur-unsur
kebudayaan lain. Mula-mula unsure-unsur tersebut ditambahkan pada kebudayaan asli. Akan tetapi, lambat
laun unsur-unsur kebudayaan aslinya diubah dan diganti oleh unsur-unsur
kebudayaan asing.
B.
Pengertian Akulturasi
Akulturasi adalah bentuk asimilasi dalam kebudayaan, pengaruh pada suatu
kebudayaan oleh kebudayaan lain yang terjadi apabila pendukung -pendukung dari
kebudayaan itu berhubungan lama1). Sebuah panitia dari Social
Science Research Council, terdiri dari R. Redfield, R. Linton dan M.
Herskovits untuk merumuskan akulturasi secara teliti, yang hasilnya mereka
mendefinisikan :
1Gazalba Sidi, Kebudayaan Sebagai Ilmu,
(Jakarta: Pustaka Antara,1968), cet. III, hlm. 119.
“Acculturation
comprehends those phenomena which result when groups of individuals having
different cultures come into continous first-hand contact, with subsequent
changes in the original cultural patterns of either or both groups”2).
Untuk dapat berhasil baik akulturasi perlu dipenuhi dengan syarat
berikut, yaitu :
a.
Syarat persenyawaan (affinity),
yaitu sebuah penemuan baru diterima tanpa “shock”, bila kebudayaan acceptor
telah mampu menemukan hal semacam itu sendiri. Metode development
baru lebih memperhatikan penjiwaan (animation) tradisi daripada penghapusannya.
b.
Syarat keseragaman (homogeneity),
harus dapat diolah jangan sampai ditinggalkan.
c.
Syarat fungsi, dibuktikan.
Unsur-unsur asing yang hanya diimport untuk gengsi dan kementerengan tidak
tahan lama, tapi jawaban atas soal yang dicari tanpa hasil di dalam segera
diasimilir bila didapat di luar.
d.
Syarat seleksi, yang ditentukan
oleh kebutuhan jasmani dan roahani, objectif dilaksanakan menurut batas-batas
habitat dan biome dan selera subjectif, bila dipilih tanpa pertimbangan matang,
keutuhan kebudayaan terancam.
Akulturasi adalah proses “midway” antara konfrontasi dan fusi.
Dalam konfrontasi belaka, dua pihak berhadapan satu sama lain dalam persaingan
yang mungkin menimbulkan konflik3).
2Bakker SJ, Filsafat Kebudayaan Sebuah Pengantar,
(Yogyakarta: Kanisius, 2005), cet. 15, hlm. 115.
3Bakker SJ, Filsafat Kebudayaan Sebuah Pengantar,
(Yogyakarta: Kanisius, 2005), cet. 15, hlm. 119.
C.
Pendukung Akulturasi dan
Keadaannya
Pendukung-pendukung akulturasi yang aktif itu adalah angkatan muda,
sedangkan angkatan yang tua itu mereka enggan, tidak mau bahkan biasanya
menolak unsure-unsur kebudayaan asing. Perbedaan sikap dalam akulturasi antara
golongan tua dan muda adalah disebabkan oleh kepribadian, tabiat dan isi jiwa
masing-masing, sehingga yang tua ingin tetap bertahan dalam kebudayaan lama
sedangkan yang muda bergerak pindah kepada kebudayaan yang baru. Selain itu,
diantara bangsa yang mengalami akulturasi ada individu-individu yang tidak bias
bertahan dalam kebudayaan yang lama dan tidak pindah kepada kebudayaan yang
baru, sehingga mereka takserbatentu dalam kebudayaan yang akhirnya mengalami
vakum kebudayaan. Orang yang mengalami vakum dalam kebudayaan itu diantaranya
yang celaka sekali, kehidupan mereka teratur, mereka kehilangan ukuran dan
nilai, kehilangan pegangan serta pedoman dalam kehidupan.
D.
Masalah dan Perubahan
Akulturasi
Masalah akulturasi ialah penyesuaian diri antara manusia dan
golongan-golongan manusia. Kebudayaan yang lebih tinggi tingkatannya merupakan
pemimpin dari mereka yang tingkat kebudayaannya rendah. Duyvendak dan Baal
mengatakan dalam akulturasi Indonesia bahwa kebudayaan Baratlah yang merupakan
pemimpin. Adapun perubahan akulturasi itu pada dasrnya adalah dalam
pengetahuan, cita-cita, tingkahlaku perbuatan, kebiasaan individu-individu yang
mengalami proses tersebut. Perubahan ini melalui representations collective,
yang artinya pada teori ini saling mempengaruhi antar pribadi, individu yang
lain dipengaruhi oleh individu yang telah berubah sehingga makin banyak
individu yang berubah, maka makin banyak yang beranggapan umum. Anggapan umum
itu mempengaruhi masyarakat dan isi anggapan umum itu akhirnya dimilki oleh
masyarakat dan terbentuklah representations collectives.
E.
Potensi Akulturasi
Individu-individu merespons
perubahan baru dengan berdasarkan pengalaman mereka terdahulu. Mereka menerima
apa yang menguntungkan dan menolak apa yang akan merugikan, serta pola
akulturasi itu tidaklah seragam tetapi beraneka ragam, bergantung pada potensi
akulturasi yang dimilki imigran sebelum berimigrasi. Kemiripan antara budaya
asli (imigran) dengan budaya pribumi merupakan faktor terpenting yang menunjang
potensi akulturasi. Berdasarkan karakteristik, imigran yang lebih tua umumnya
mengalami lebih banyak kesulitan dalam menyesuaikan diri dengan budaya yang
baru dan mereka lebih lambat dalam memperoleh budaya-budaya baru (Kim, 1976).
Pendidikan terlepas dari konteks budayanya, dapat memperbesar kapasitas
seseorang untuk menghadapi pengalaman baru dan menghadapi tantangan hidup.
Faktor lain yang memperkuat potensi
akulturasi adalah factor-faktor kepribadian seperti suka berteman, toleransi,
mau mengambil risiko, keterbukaan dan sebagainya. Karakteristik seperti ini
membantu imigran membentuk persepsi, perasaan dan perilakunya yang memudahkan
dalam lingkungan yang baru. Pengetahuan imigran tentang budaya pribumi sebelum
berimigrasi yang diperoleh dari kunjungan sebelumnya, kontak-kontak
antarpersona, dan lewat media massa juga dapat mempertinggi potensi akulturasi
imigran.
F.
Mempermudah Akulturasi
Lewat Komunikasi
Sebagaimana orang pribumi mengalami enkulturasi lewat komunikasi, maka
seorang imigran terakulturasi ke dalam budaya pribumi lewat komunikasi
pula. Proses akulturasi banyak berkenaan
dengan usaha menyesuaikan diri dengan dan menerima pola-pola dan aturan-aturan
komunikasi dominant yang ada pada masyarakat pribumi. Kecakapan komunikasi
pribumi yang diperoleh pada gilirannya mempermudah semua aspek penyesuaian diri
lainnya dalam masyarakat pribumi. Informasi tentang komunikasi imigran
memungkinkan kita meramalkan derajat dan pola akulturasinya sebagai suatu
kerangka konseptual untuk menganalisis pola-pola komunikasi imigran, serta
perspektif sistem komunikasi telah disajikan. Secara ringkas, perspektif sistem
mengakui proses-proses interaksi dinamik antara komunikasi persona, komunikasi
sosial, dan lingkungan komunikasi. Komunikasi persona dapat dianalisis dengan
melihat kompleksitas kognitif, pengetahuan tentang pola-pola dan aturan-aturan
komunikasi pribumi, citra diri, dan motivasi akulturasi. Potensi akulturasi seorang imigran sebelum
berimigrasi dapat mempermudah akulturasi yang dialaminya dalam masyarakat
pribumi. Potensi akulturasi ditentukan oleh factor-faktor berikut :
1.
Kemiripan antara budaya asli
(imigran) dan budaya pribumi.
2.
Usia pada saat berimigrasi.
3.
Latar belakang pendidikan.
4.
Beberapa karakteristik kepribadian
seperti suka bersahabat dan toleransi.
5.
Pengetahuan tentang budaya pribumi
sebelum berimigrasi.
Proses akulturasi akan terus berlangsung selama imigran mengadakan kontak
langsung dengan sistem sosio-budaya pribumi. Semua kekuatan
akulturatif-komunikasi persona dan social, lingkungan komunikasi, dan potensi
akulturasi sebelum berimigrasi-secara interaktif mempengaruhi jalannya
perubahan pada proses akulturasi imigran. Proses akulturasi mungkin tidak akan
berjalan lurus dan mulus, tapi bergerak maju menuju asimilasi yang secara
hipotesis merupakan asimilasi yang sempurna. Kotak langsung dan terus-menerus
yang dilakukan imigran dengan suatu lingkungan sosio-budaya yang baru akan
menimbulkan perubahan akulturatif. Akulturasi yang tidak menyeluruh bergantung
pada pendapat orang, dapat ditafsirkan sebagai bukti adanya (sebagian)
asimilasi atau (sebagian) etnisitas.
Untuk menunjang kecakapan komunikasi dalam budaya pribumi, imigran harus
mengembangkan kecakapan kognitif, afektif, dan perilaku dalam berhubungan
dengan lingkungan pribumi. Dengan mengembangkan suatu komunikasi akulturasi
yang kuat, imigran menjadi terorientasi secara positif terhadap masyarakat
pribumi dan menerima norma-norma dan aturan-aturan budaya pribumi. Dengan
partisipasi aktif dalam sistem-sistem komunikasi pribumi, imigran akan dapat
mengembangkan pemahaman yang lebih realistic dan pandangan yang lebih positif
tentang suatu cara hidup yang baru. Proses akulturasi adalah suatu proses
interaktif mendorong dan menarik antara seorang imigran dan lingkungan pribumi,
tapi anggota-anggota masyarakat pribumi dapat mempermudah akulturasi imigran dengan
menerima pelaziman (conditioning) budaya asli imigran, dengan memberikan
situasi-situasi komunikasi yang mendukung kepada imigran, dan dengan
menyediakan diri secara sabar untuk berkomunikasi antar budaya dengan imigran.
Inti akulturasi interaktif adalah proses komunikasi yang menghubungkan
individu-individu imigran dengan lingkungan sosio-budaya mereka. Selama
saluran-saluran komunikasi bersama tetap kuat, konsensus dan pola-pola tindakan
bersama akan tetap berlangsung dalam masyarakat pribumi. Seperti yang dikatakan
oleh Mendelson (1964), bahwa komunikasi dapat menggabungkan kelompok-kelompok
minoritas ke dalam suatu organisasi social yang memilki gagasan-gagasan dan
nilai-nilai bersama.
BAB
III
KESIMPULAN
Perubahan kebudayaan terjadi dimana-mana, salah satunya akulturasi.
Akulturasi adalah bentuk asimilasi, perubahan dalam kebudayaan, pengaruh pada
suatu kebudayaan oleh kebudayaan lain yang terjadi apabila pendukung -pendukung
dari kebudayaan itu berhubungan lama
R. Redfield, R. Linton dan M. Herskovits sebagai panitia dari Social
Science Research Council merumuskan akulturasi secara teliti, yang hasilnya
mereka mendefinisikan : “Acculturation comprehends those phenomena which result
when groups of individuals having different cultures come into continous
first-hand contact, with subsequent changes in the original cultural patterns
of either or both groups”.
Perubahan baru terjadi berdasarkan pengalaman. Individu-individu menerima
apa yang menguntungkan dan menolak apa yang akan merugikan, serta pola
akulturasi itu tidaklah seragam tetapi beraneka ragam, bergantung pada potensi
akulturasi yang dimilki imigran sebelum berimigrasi. Adapun yang memperkuat
potensi akulturasi adalah factor-faktor kepribadian seperti suka berteman,
toleransi, mau mengambil risiko, keterbukaan dan sebagainya. Dalam akulturasi
tidak terlepas dari komunikasi, akulturasi terjadi karena adanya komunikasi.
Potensi akulturasi ditentukan oleh factor-faktor berikut :
1.
Kemiripan antara budaya asli
(imigran) dan budaya pribumi.
2.
Usia pada saat berimigrasi.
3.
Latar belakang pendidikan.
4.
Beberapa karakteristik kepribadian
seperti suka bersahabat dan toleransi.
5.
Pengetahuan tentang budaya pribumi
sebelum berimigrasi.
DAFTAR
PUSTAKA
Kaplan, David.,
Robert A. Manneis. 2002. Teori Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Bakker,
JMW. 2005. Filsafat Kebudayaan Sebuah Pengantar. Yogyakarta: Kanisius.
Gazalba,
Sidi. 1968. Kebudayaan Sebagai Ilmu. Djakarta: Pustaka Antara.
Mulyana,
Deddy., Jalaluddin Rakhmat. 2003. Komunikasi Antar Budaya. Bandung: PT
Remaja Rosdakarya.
Soekanto,
Soerjono. 1982. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada.
viacasino.com | youtube - Viacasino.com
BalasHapusviacasino.com. 18 months, Viacasino.com is a 인카지노 real online casino and sportsbook site. The site งานออนไลน์ uses cookies. If you 유튜브 음원 추출 like our site then you will also find