Minggu, 16 Maret 2014

Teori Psikologi Sastra


A.    Psikologi Sastra
Psikologi sastra merupakan salah satu bagian dari keilmuan kritik sastra. Psikologi sastra adalah sebuah interdisiplin antara psikologi dan sastra.[1] Sebuah model penelitian interdisiplin dengan menetapkan karya sastra sebagai pemilik posisi yang lebih dominan.[2] Dengan demikian unsur-unsur psikologis pun menampilkan aspek-aspek yang berbeda. Psikologi sastra merupakan analisis teks dengan mempertimbangkan relevansi dan peranan studi psikologis. Dengan memusatkan perhatian pada tokoh-tokoh, yang tentu akan melibatkan aspek-aspek yang ditinjau dari segi kepribadian. Teori-teori kepribadian adalah modal utama dalam pengkajian tokoh dalam karya sastra, untuk memperoleh nilai-nilai psikologis tokoh. Dalam pendekatan psikologis awal lebih dekat dengan pendekatan biografis dibandingkan dengan pendekatan sosiologis sebab analisis yang dilakukan cenderung memanfaatkan data-data personal.
1.      Psikologi Kepribadian
Kepribadian merupakan pembawaan yang mencakup dalam pikiran, perasaan, dan tingkah laku yang merupakan karakteristik seseorang yang menampilkan cara beradaptasi dan berkompromi dalam kehidupan. Namun pakar lain mengatakan bahwa kepribadian menurut psikologi bisa mengacu kepada pola karakteristik perilaku dan pola pikir yang menentukan penilaian seseorang terhadap lingkungan. Kepribadian dibentuk oleh potensi sejak lahir yang dimodifikasi oleh pengalaman budaya dan pengalaman unik yang mempengaruhi seseorang sebagai individu, dan untuk memahami kepribadian yang mencakup kualitas nalar, psikoanalisis, pendidikan sosial, teori-teori humanistik.[3]
Kajian kepribadian adalah kajian mengenai bagaimana seseorang menjadi dirinya sendiri, karena setiap individu itu memiliki pengalaman dan keunikan sendiri, walaupun semua berdasarkan hukum yang berlaku umum. Hal yang penting adalah tidak ada hukum kepribadian yang terpisah dari teori psikologi pada umumnya. Kajian kepribadian merupakan suatu proses yang harus dipahami dengan mempelajari peristiwa yang mempengaruhi perilaku seseorang, sekalipun kaitannya dengan konteks sosial yang harus dipahami melalui kebudayaan. Dengan demikian, kepribadian adalah suatu integrasi dari semua aspek kepribadian yang unik dari seseorang menjadi organisasi yang unik, yang menentukan dan dimodifikasi oleh upaya seseorang beradaptasi dengan lingkungannya yang selalu berubah.
Psikologi kepribadian adalah psikologi yang mempelajari kepribadian manusia dengan objek penelitian factor-faktor yang mempengaruhi tingkah laku manusia. Di dalamnya dipelajari kaitan antara ingatan atau pengamatan dengan perkembangan, kaitan antara pengamatan dengan penyesuaian diri pada individu, dan seterusnya. Sasaran psikologi kepribadian ialah; pertama, memperoleh informasi mengenai tingkah laku manusia. Kedua, psikologi kepribadian mendorong individu agar dapat hidup secara utuh dan memuaskan. Ketiga, agar individu mampu mengembangkan segenap potensi yang dimilikinya secara optimal melalui perubahan lingkungan psikologis.[4]
2.      Teori Kepribadian
1)      Alam Bawah Sadar
Freud menyatakan bahwa pikiran manusia lebih dipengaruhi oleh alam bawah sadar (unconscious mind) ketimbang alam sadar (conscious mind). Ia mengatakan bahwa kehidupan seseorang dipenuhi oleh berbagai tekanan konflik, untuk meredakan tekanan dan konflik tersebut manusia dengan rapat menyimpannya di alam bawah sadar. Oleh karena itu menurut Freud alam bawah sadar merupakan kunci memahami perilaku seseorang. Tak sadar adalah apa yang tak terjangkau oleh sadar.[5]
Menurut Freud, hasrat tak sadar selalu aktif dan selalu siap muncul. Kelihatannya hanya hasrat yang muncul, tetapi melalui suatu analisis ternyata ditemukan hubungan antara hasrat sadar dengan unsur kuat yang datang dari hasrat taksadar. Hasrat yang timbul dari alam tak sadar yang diapresiasi selalu aktif dan tidak pernah mati. Hasrat ini berasal dari masa kecil yang pengaruhnya sangat kuat.
2)      Teori Mimpi
Freud menghubungkan karya sastra dengan mimpi. Sastra dan mimpi dianggap memberikan kepuasan secara tak langsung. Mimpi seperti tulisan merupakan system tanda yang menunjuk pada sesuatu yang berbeda, yaitu melalui tanda-tanda itu sendiri. Perbedaan karya sastra dan mimpi adalah karya sastra terdiri atas bahasa yag bersifat linier; sedangkan mimpi terdiri atas tanda-tanda figurative yang tumpang tindih dan campur-aduk. Mimpi dalam sastra adalah angan-angan halus.
Freud juga percaya bahwa mimpi dapat mempengaruhi perilaku seseorang. Mimpi merupakan representasi dari konflik dan ketegangan dalam kehidupan sehari-hari. Hebatnya derita karena konflik dan ketegangan yang dialami sehingga sulit diredakan melalui alam sadar. Mimpi kerap tampil dalam bentuk simbolisasi dan penyamaran sehingga membutuhkan analisis mendalam untuk memahaminya.
Mimpi mempunyai dua isi, yaitu isi manifes dan isi laten. Isi manifes adalah gambar-gambar yang diingat ketika diri terjaga, dan muncul ke dalam pikiran ketika mencoba untuk mengingatnya. Dan isi laten yang dimaksud adalah pikiran-pikiran mimpi, ialah sesuatu yang tersembunyi (pikiran tersembunyi) bagaikan sebuah teks asli yang keadaannya primitive dan harus disusun kembali melalui gambar yang sudah diputarbalikkan sebagaimana disajikan oleh mimpi manifes.    
3.      Struktur Kepribadian Sigmund Freud
Freud membahas pembagian psikisme manusia, yaitu id yang terletak di bagian taksadar, yang merupakan libido atau dorongan dasar. Ego yaitu peraturan secara sadar antara Id dan realitas luar yang bertugas sebagai penengah yang mendamaikan tuntutan dan larangan superego. Super ego merupakan penuntun moral dan aspirasi seseorang, yang terletak sebagian dari sadar dan sebagian lagi di bagian taksadar yang merupakan hasil pendidikan dan identifikasi pada orang tua. [6]
Id merupakan energi psikis dan naluri yang menekan manusia agar memenuhi kebutuhan dasar, seperti kebutuhan makan, seks menolak rasa sakit atau tidak nyaman. Id ini menurut Freud, berada di alam bawah sadar, tidak ada kontak dengan realitas. Cara kerjanya id berhubungan dengan prinsip kesenangan, yaitu selalu mencari kenikmatan dan selalu menghindari ketidaknyamanan.
Ego terperangkap diantara dua kekuatan yang bertentangan dan dijaga serta patuh pada prinsip realitas dengan mencoba memenuhi kesenangan individu yang dibatasi oleh realitas. Seseorang penjahat, misalnya yang hanya ingin memenuhi kepuasan diri sendiri, akan tertahan dan terhalang oleh realitas kehidupan yang dihadapi. Demikian pula dengan adanya individu yang memiliki impuls-impuls seksual dan agresivitas yang tinggi misalnya, tentu saja nafsu-nafsu tersebut tidak akan terpuaskan tanpa pengawasan. Tugas ego memberi tempat pada fungsi mental utama, seperti penalaran, penyelesaian masalah dan pengambilan keputusan. Demikianlah, ego itu merupakan pimpinan utama dalam kepribadian. Id dan ego  tidak memiliki moralitas karena keduanya tidak mengenal nilai baik dan buruk.[7]
Adapun struktur yang ketiga adalah super ego yang mengacu pada moralitas dalam kepribadian. Super ego sama halnya dengan ‘hati nurani’ yang mengenali nilai baik dan buruk. Super ego berfungsi sebagai lapisan yang menolak sesuatu yang melanggar prinsip moral, yang menyebabkan seseorang merasa malu atau memuji sesuatu yang dianggap baik.[8]  
Id, ego, dan seper ego, ketiganya mempunyai arti yang spesifik. Dapat digaris bawahi bahwa Id itu adalah system kepribadian manusia yang paling dasar dan paling gelap dalam bawah sadar manusia, berisi insting dan nafsu-nafsu. Id ini hanya dapat dikendalikan dan tidak dapat dimusnahkan. Kalau dalam tidur terjelma sebagai mimpi. Ego adalah kesadaran akan diri sendiri yang merupakan peraturan secara sadar antara id  dan realita luar. Ego biasanya mengubah sifat id dari yang abstrak kepada hal-hal yang berdasarkan pada prinsip kenyataan. Selanjutnya super ego sebagai sebuah lapisan yang menolak sesuatu yang melanggar prinsip moral, yang dapat menyebabkan seseorang merasa malu atau memuji sesuatu yang dianggap baik. Super Ego berkembang sebagai pengontrol kebutuhan id dan berisi nilai-nilai atau evaluatif.[9]


[1]Albertine Minderop. Psikologi Sastra, (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2010),    hal. 58.
[2]Nyoman Kutha Ratna. Teori, Metode dan Teknik Penelitian Sastra, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), hal. 349.
[3]Albertine Minderop. Psikologi Sastra, (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2010),    hal. 4.
[4]Albertine Minderop. Psikologi Sastra., Ibid, hal. 7.
[5]Albertine Minderop. Psikologi Sastra., Ibid, hal. 14.
[6]Atar Semi. Kritik  Sastra., (Bandung: Angkasa, 1989), hal. 48.
[7]Albertine Minderop. Psikologi Sastra, (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2010),    hal. 21.
[8]Atar Semi. Kritik  Sastra., (Bandung: Angkasa, 1989), hal. 48.
[9]Suroso, dkk. Kritik Sastra; Teori, Metodologi, dan Aplikasi., (Yogyakarta: Elmatera Publishing, 2009) hal. 42.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar